Selasa, 06 Desember 2011

Pak Harto The Untold Stories (1)

http://wasisgaleria.files.wordpress.com/2010/12/02-1.jpg

PERJALANAN waktu menyebabkan orang kembali rindu kepada sosok Pak Harto. Maka orang mulai mempertanyakan dana 26 juta dollar dari Amerika Serikat dalam gerakan reformasi.

Di dalam buku Pak Harto, The Untold Stories, Bupati Karanganyar Rina Iriani Ratnaningsih menulis: ‘’Peziarah semakin banyak saja sejak Pak Harto dimakamkan di Astana Giribangun.’’ Sekarang kompleks pemakaman keluarga mantan Presiden Soeharto yang terletak di atas bukit di Desa Girilayu, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, sekitar 35 km dari Kota Surakarta, telah dibuka sebagai daerah tujuan wisata ziarah.

Setiap hari – terutama di akhir pekan – lapangan parkir luas disesaki bus besar membawa peziarah mengunjungi pemakaman, terutama makam Pak Harto, sekadar untuk membacakan Surah Yasin. Tak sedikit di antara mereka datang dari tempat jauh, termasuk dari luar Jawa.

Rupanya setelah reformasi menjatuhkan Pak Harto dari kekuasaannya berlalu 13 tahun, rakyat kembali merindukan figur Pak Harto dengan gaya kepemimpinannya yang tegas – malah terkadang keras – tapi lebih tulus memikirkan kepentingan dan nasib rakyatnya. Itu berbeda dengan gaya kepemimpinan yang mereka kenal sekarang: ragu-ragu, serba dibuat-buat, seolah-olah mencintai rakyat, padahal semuanya demi rating, demi populeritas, untuk dapat memenangkan kursi dalam Pemilu.

Rupanya waktu yang 13 tahun itu sudah mencukupi bagi rakyat untuk mengendapkan masalah mau pun perasaan emosionalnya. Maka survei pun memperlihatkan betapa gaya kepemimpinan Pak Harto kembali dirindukan.

Oleh karena itu penerbitan buku Pak Harto, The Untold Stories oleh PT Gramedia Pustaka Utama yang diluncurkan di Jakarta 8 Juni lalu, tepat di hari ulang tahun Pak Harto ke-90, betul-betul memilih momentum yang tepat. Kini buku setebal 600-an halaman itu sudah beredar di jaringan toko buku Gramedia.

Pak Harto, The Untold Storiesdipersiapkan cukup lama. Menurut pengantar dari para penulisnya yang antara lain terdiri dari wartawan – Anita Dewi Ambarsari, Bakaruddin, Donna Sita Indria, Dwitri Waluyo, dan Mahpudi – rencana menerbitkan buku ini dimulai 29 Maret 2009, ketika pada malam itu diadakan peluncuran Pak Harto Di atas Prangko, buku yang mendokumentasikan kegiatan Pak Harto dalam berbagai peristiwa pembangunan selama 31 tahun memimpin Indonesia.

Tapi tampaknya mereka kurang akurat. Buku ini malah sudah dipersiapkan sebelum itu. Di dalam Pak Harto, The Untold Stories dimuat tulisan Soerjono, mantan staf Pak Harto ketika menjadi Komandan Wehrkreise III, berjudul Berlindung Di Punggung Pak Harto (hal 96 – 99). Padahal di dalam catatan tentang profilnya disebutkan Soerjono meninggal dunia di tahun 2008.  Jadi semestinya buku ini dipersiapkan sebelum ia meninggal.

Waktu bertahun-tahun yang cukup panjang digunakan untuk wawancara dan kemudian menuliskannya. Jumlah narasumber yang diwawancara memang cukup banyak, lebih 100 narasumber, mulai mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Try Sutrisno, bekas Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, bekas Presiden Filipina Fidel Ramos, bekas Perdana Menteri Singapore Lee Kuan Yew, dan Sultan Hassanal Bolkiah Raja Brunai.

Yang lain, mulai bekas menteri di zaman Pak Harto menjadi presiden selama 31 tahun lebih, bekas staf, bekas ajudan, pengawal, para pembantu rumah tangga kepresidenan, mau pun para pembantu di rumah Pak Harto di Jalan Cendana, Jakarta, setelah Pak Harto lengser dari kursi presiden. Putri sulung Pak Harto, Mbak Tutut bertindak sebagai koordinator penerbitan buku ini.

Pendek kata, mereka yang diwawancara adalah orang yang mengenal Pak Harto, baik secara intensif (seperti para ajudan, pengawal, staf, atau putra-putri Pak Harto), mau pun biasa-biasa saja karena hubungan tugas atau pekerjaan seperti bekas Menteri KLH Emil Salim atau mantan Wakil Ketua DPR Saiful Sulun.

Singkat cerita, Pak Harto, The Untold Stories memang menjadi buku yang berhasil menggambarkan Pak Harto yang sesungguhnya, terutama ketika ia memimpin Indonesia. Dan itu bisa dilakukan berkat terpautnya peristiwa yang digambarkan di dalam buku dalam waktu yang cukup panjang dengan kondisi sekarang. Apalagi kepentingan politik para narasumber dengan Pak Harto sebagai subyek boleh dikatakan nol.

Memang tampaknya buku ini ingin dijauhkan dari bau dan kontroversi politik. Maka ketika membaca buku ini akan terasa ada bagian yang kurang utuh, atau ada priode kehidupan Pak Harto yang kurang lengkap, terutama di masa-masa senja kekuasaannya.

Padahal justru sekarang banyak orang ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada waktu itu. Dari tulisan Mahathir Mohammad dan Fadli Zon, misalnya, digambarkan IMF datang ke Indonesia yang sedang dilanda krisis ekonomi yang berat dengan membawa racun, bukan obat. Mengapa begitu?

Mahathir terus-terang menyebutkan bahwa Pak Harto itu dijatuhkan dari kekuasaannya. Dan IMF datang ke Indonesia sebagai melaksanakan skenario penjatuhan itu. Tapi bagaimana penjatuhan dilakukan, siapa aktor dalam dan luar negeri, siapa para pembantunya?

Setelah dipisahkan waktu 13 tahun lebih, sekaranglah mestinya masalah itu bisa diungkap untuk dibicarakan secara terbuka demi kepentingan sejarah yang akan diwariskan untuk anak cucu kita kelak.

Misalnya, kinilah saatnya dibicarakan dengan terbuka berita yang ditulis koran paling berpengaruh Amerika Serikat, The New York Times, 20 Mei 1998, bahwa badan bantuan Amerika Serikat, US-AID mengucurkan duit 26 juta dollar (lebih Rp 200 milyar dengan kurs sekarang) untuk mendukung gerakan menjatuhkan Soeharto. Tokoh gerakan/LSM yang disebut namanya dalam berita yang ditulis wartawan Tim Weiner itu adalah pengacara Adnan Buyung Nasution dari LBH.

Nah, sekarang saatnya Adnan Buyung Nasution membicarakan secara terbuka pemberitaan koran Amerika Serikat itu. Kalau berita itu bohong, mengapa sampai sekarang sudah 13 tahun Bang Buyung tak menuntutnya di pengadilan? Kalau beritanya benar, Bang Buyung harus menjelaskan mengapa reformasi di Indonesia harus dibiayai negara asing? Apakah tindakan US-AID mendanai aksi penggulingan pemerintahan Soeharto tak melanggar hukum Indonesia?

Sudah lama diketahui US-AID sulit dibedakan dengan CIA, badan intelijen Amerika Serikat. Di dalam bukunya yang sangat terkenal Failed States: The Abuse of Power and The Assault on Democracy (Penguin Group, 2006), Profesor Noam Chomsky dari Massachussetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat, menulis US-AID sebagai invisible conduit (saluran siluman) pemerintah Amerika Serikat demi kepentingan politik. Lembaga itulah, menurut Chomsky, yang menebar dollar kepada Fatah untuk menghadapi Pemilu di Palestina. Walau pun ternyata dengan dollar itu Fatah dikalahkah Hamas.

Dollar pun bertebaran di Iran ketika di tahun 1953, Perdana Menteri Mohammad Mosaddeq yang terpilih secara demokratis ingin dijatuhkan Amerika Serikat. Politisi, aktivis, dan terutama wartawan dan pemilik koran, dibanjiri dollar untuk menjelek-jelekkan pemerintahan Mosaddeq.

Dollar dari US-AID bertebaran lagi di negeri kecil dan miskin, Haiti, ketika Amerika Serikat campur tangan dalam Pemilu di tahun 1990. Ketika itu, Amerika Serikat mendukung Marc Bazin, bekas staf Bank Dunia, untuk bertarung menghadapi Jean-Bertrand Aristide, pastor yang sangat merakyat.

Aristide memenangkan Pemilu. Tapi pemerintahannya terus-menerus diganggu aksi demo, protes para aktivis dan serangan para wartawan di koran-koran yang dibayar aparat US-AID. Akhirnya sebuah demonstrasi besar memaksa Aristide melarikan diri ke luar negeri. Haiti pun dikuasai perwira militer yang sudah digarap aparat intel Amerika Serikat (CIA).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar