Selasa, 21 Februari 2012

Kerajaan Sriwijaya ada di Riau????

Candi Muara Takus
 
CEKAU.COM
-Literatur sejarah pernah menyebut, pusat-pusat kerajaan ini berada di Palembang, Jambi, Malaya, Thailand, Jawa, bahkan Kampar, Riau. Jadi dimanakah kedudukan kerajaan Sriwijaya?
 
Para ahli sejarah, arkeolog dan ilmu-ilmu yang terkait, termasuk geologi, pernah silang sengketa soal pusat kerajaan Sriwijaya-kerajaan Melayu tua ini.
Menurut Allatif, pemerhati sejarah Kabupaten Kampar, Riau, ini benar-benar meyakini bahwa pusat kerajaan Sriwijaya itu berada di Kabupaten Kampar, Riau. Pelbagai alasan dan hipotesis ia ungkapkan kepada cekau.com. Bahwa, seorang sarjana Budha asal Benggala, katanya, yang mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet dalam kertas Durbodhaloka menyebutkan pemerintahan Sri Cudamanivarmadeva mempersembahkan sebuah Candi Cheng Tien Wan Shou, artinya Candi Bungsu kepada Kaisar Cina pada 1003. Kini Candi Bungsu ini, satu-satunya berada di Candi Muara Takus.
Temuan ini dibuktikan Allatif, pada artefak, tembikar, kendi tempat air suci orang Hindu, piring dankeramik Cina, arca, (ada berbentuk orang, gajah dan harimau) di sekitar Desa Muara Takus.“Temuan-temuan yang bernilai sejarah ini, menunjukkan adanya hubungan dengan kerajaan Sriwijaya”. “Bukti-bukti lain, ternyata menyerupai dari temuan di Mantai, Srilangka dan Barus di Medan,” lanjut pengajar di SMU Kabupaten Kampar ini.

Uniknya, seorang warga menemukan sebuah dayung kapal layar sepanjang 7-12 meter di Desa Air Tiris. Sebuah kompas tertua di dunia dari bahan bambu, dan juga ditemukan batang kayu di bawah tanah berdiameter cincin sumur sepanjang 16 cincin, serta ada pula fosil siput (keong) raksasa sebesar drum dengan panjang 1,5 meter.


Analisis Allatif, temuan unik ini menunjukkan Desa Muara Takus, dulunya sebuah kota kerajaan Sriwijaya dengan pelabuhan besar, diantara dua sungai bermuara. Jauh sebelum dugaan Allatif, sebuah penelitian geomorfologi dengan analisis dan dukungan data yang kuat serta foto udara, telah di kupas Drs Sukmono. Ia arkeolog Indonesia, yang menyebut pusat kerajaan Sriwijaya berada di Jambi.


Bahkan Sukmono “menantang” argumen George Coedes yang menyatakan pusat kerajaan di Palembang. Kisruh ini terungkap pada Kongres Ilmiah Pasifik pada 1957, dipublikasi dalam “
Geomorphology and the location of Criwijaya”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, April 1963.

Yang ditantang Sukmono bukan orang sembarangan. George Coedes seorang arkeolog dan sejarawan Prancis abad ke-20 yang bertunak pada penelitian di wilayah Asia Tenggara. Karya besarnya:
The Indianized States of Southeast Asia, 1968, 1975 dan The Making of South East Asia, 1966. Karya terbesar Sukmono ini terinspirasi dari ahli geomorfologi Belanda, Obdeyn pada 1941-1944.

Obdeyn, menurut Sukmono, mempublikasi seri paper tentang perkembangan geomorfologi Sumatera Selatan dalam Tijdschrift. Kon. Ned. Aardr. Gen No 59-61 – hasil penelitian ini juga digunakan Bemmelen, 1949 dalam adikaryanya “The Geology of Indonesia”.


Yang jelas, hasil kesimpulan Sukmono, kerajaan ini, terkenal sebagai kerajaan maritim tertua di Indonesia dan kerajaan pertama nusantara menguasai wilayah Sumatera, semenanjung Malaya, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Mindanao.


Lagi-lagi temuan baru ini menuai debat. Adalah Prof Dr Slamet Muljana, arkeolog dari negara yang sama, menulis dalam bukunya “Sriwijaya” tersemat nukilan sejarah dari catatan I-ts’ing (Yi-Jing) pada 635-713. Ia seorang dari tiga penjelajah terkenal dari Cina. Kedua pendahulunya adalah Fa-Hsien dan Hsuan-Tsang. Bagi Slamet, catatan ini sangat kuat. I-ts’ing menulis keberadaan pusat kota Sriwijaya terletak di daerah khatulistiwa. Deskripsi tempat ini jelas: “Apabila orang berdiri tepat pada tengah hari, maka tidak akan kelihatan bayangannya”. "Dari dasar inilah,
banyak bukti menunjukkan, bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada di Desa Muara Takus, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau," jelas Allatif.

Namun sayang, Prof Slamet melepaskan pernyataan I-ts’ing tentang keberadaan kerajaan Sriwijaya mengenai bayang-bayang di welacakra. “Mengapa meniadakan kata-kata ini?” tanya Allatif. “Justru dari sinilah kita merujuk bahwa, letak bayangan dari sinar matahari ini akan bertalian dengan posisi Ibukota Sriwijaya di Kampar, Riau,” yakin Allatif.*

Keberadaan Kampar sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya "tergilas" publikasi. Selama ini publik menyangka pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Sumatera Selatan (Sumsel) karena lebih banyak publikasi mengenai Sriwijaya oleh orang-orang Sumsel. Namun fakta berbicara lain. Keberadaan Candi Muara Takus membuktikan, pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Kampar.

Sebenarnya ada sesuatu yang jauh lebih menarik dari sekadar view yang ditampilkan di kompleks Candi Muara Takus di Desa Muara Takus Kecamatan XIII Koto Kampar Kabupaten Kampar. Sesuatu yang akan mengubah sejarah.
Tidak hanya sejarah Kampar secara khusus, namun sejarah Melayu di dunia.
Berdasarkan sejarah yang telah disusun di Indonesia, ibukota Kerajaan Sriwijaya berada di Sumsel. Bahkan, menurut sejarah Melayu di Malaysia, pendiri Kerajaan Melaka, yakni Prameswara yang kemudian berganti nama menjadi Muhammad Iskandar Syah berasal dari Sriwijaya yang diyakini berada di Sumsel.

Namun sebagaimana dikatakan Pemerhati dan Peneliti Sejarah Kampar Drs Abdul Latif MM, pandangan tersebut akan berubah. Sebab keberadaan Candi Muara Takus membuktikan lain.  ''Berdasarkan penelitian di dunia, sebuah candi merupakan pusat kerajaan dan pusat keagamaan di kerajaan Hindu/Budha. Jika Candi Muara Takus berasal dari Kerajaan Sriwijaya, dengan demikian pusat Kerajaan Sriwijaya pada zaman dulu berada di Kampar, bukan di Sumsel,'' jelas Latif yang juga seorang budayawan Kampar ini.

Hal yang paling menguatkan bahwa Candi Muara Takus merupakan pusat kerajaan tertua di Asia Tenggara tersebut adalah adanya istana yang berada di sekitar candi pada zaman dahulu. Saat ini istana yang terbuat dari kayu itu tidak ada lagi, terkikis oleh berjalannya waktu. Latif mengungkapkan, istana Sriwijaya telah lama runtuh. ''Dulu ada istana di sekitar candi. Tapi sudah lama runtuh. Masyarakat sekitar tidak ada lagi yang ingat persis tahun berapa istana runtuh saking sudah lamanya,'' urai Latif yang juga merupakan Guru PPKn di SMA 2 Bangkinang dan sudah 16 tahun berkecimpung dalam kegiatan penelaahan sejarah Melayu, terutama di Kabupaten Kampar ini.

Hanya saja, karena publikasi terhadap Kerajaan Sriwijaya sudah terlebih dahulu dilakukan orang-orang Sumsel, pusat Sriwijaya dianggap berada di wilayah Sumsel. Bahkan buku sejarah yang disusun juga memuat demikian. Padahal di Sumsel sendiri tidak pernah ditemukan bekas istana maupun situs sejarah berupa candi. Hanya di Kampar ditemukan situs peninggalan sejarah Kerajaan Sriwijaya berupa candi dan bekas istana yang telah runtuh.
''Daerah Sumsel itu saya kira hanya sebagai daerah perhentian pelabuhan terakhir yang dilakukan orang-orang Kerajaan Sriwijaya,'' ungkap alumni Jurusan PPKn FKIP Universitas Riau ini.

Sebenarnya, Latif sudah memaparkan banyak hal terkait pusat Sriwijaya di Muara Takus pada seminar-seminar kebudayaan di Riau maupun di provinsi lain. Seperti di seminar kebudayaan di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Para akademisi UGM bahkan mendukung pandangan dan fakta yang disampaikan Latif. ''Akademisi UGM mendukung saya. Mereka memberi semangat agar saya terus mempublikasikan mengenai pusat Sriwijaya yang berada di Kampar agar diketahui masyakarat,'' sebut pria kelahiran Kuok 4 Juli 1958 tersebut.  Tidak hanya akademisi UGM yang mendukung pandangan yang menyebutkan pusat Sriwijaya ada di Muara Takus. Sebanyak 16 peneliti dari Belanda yang pernah meneliti di daerah Kampar menyatakan pandangan serupa. ''Hanya saja kurang terekspos ke publik,'' sebut Latif.

Jika hanya diperhatikan sekilas, bagi orang awam, Candi Muara Takus terlihat kurang menarik. Hanya terdapat 3 candi yang dinamakan candi tua, candi bungsu dan candi mahligai yang disebut juga stupa candi. Kompleks candi hanya terlihat berupa onggokan batu warna oranye kemerah-merahan . Di halaman candi yang seluruhnya dipagari besi tipis berwarna silver, ditanami rumput dan tanaman hias berupa bunga asoka. Sedangkan bekas pelabuhan di sekitar candi yang sekarang berupa Sungai Kampar pada tepiannya dibangun panggung sebagai tempat duduk-duduk dan melihat-lihat bagi pengunjung.
Tak jauh dari situ tampaklah bekas-bekas benteng yang dibangun untuk melindungi istana dan Candi Muara Takus. Sebagian benteng sudah tertimbun tanah.

Saat ini bekas benteng yang terlihat hanya berupa tembok-tembok dengan bahan batu yang sama dengan batu candi. Di sekitar lokasi juga terdapat bekas tempat pemandian putri yang sudah berupa onggokan batu. Sedangkan di sekitarnya terdapat tempat berjualan pedagang makanan, minuman dan pakaian bergambar Candi Muara Takus yang dijual kepada pengunjung candi.
Pada sebagian tanah yang diinjak di lokasi kompleks candi menuju bekas tempat pemandian putri didapati batu-batu yang sedikit menyembul ke atas permukaan tanah. Sepertinya batu-batu itu hendak bernafas ke permukaan tanah karena bagiannya yang lain masih tersembunyi di tanah.

Namun bagi pengunjung, candi terlihat kurang menarik sebagai objek wisata. Beberapa pengunjung menyatakan, view candi terlihat kurang menarik. Ahmad Supriadi (31) mengungkapkan, tidak ada sesuatu yang begitu menarik dari candi peninggalan abad 12 Masehi itu. Supriadi mengaku sudah 4 kali mengunjungi candi. Namun yang ia temukan hanya keadaan yang sama, onggokan batu berwarna oranye kemerah-merahan .
''Saya sudah berkali-kali ke sini, tapi terlihat hanya begitu-begitu saja,'' ungkap Supriadi yang ditemui di area candi. Hal yang sama dipaparkan Lina Hardian (27). Lina juga mengungkapkan bahwa candi kurang menarik dari segi view yang ditampilkan. Apalagi candi kurang terkelola dengan baik sebagai objek wisata. ''Kelihatan kurang menarik. Karena tidak dikelola dengan baik,'' tutur Lina.


Terkait Muara Takus yang merupakan pusat Sriwijaya, seharusnya, saran Latif, Pemerintah Kabupaten Kampar bersama Pemerintah Provinsi Riau bekerja sama agar situs Candi Muara Takus dapat menjadi situs warisan dunia yang dijaga UNESCO. Apalagi Blue Annals yang sudah mendunia banyak sekali mengulas mengenai Candi Muara Takus.

Pemerintah, lanjut Latif, dapat mengajukan proposal kepada UNESCO sehingga situs Candi Muara Takus dapat dipelihara dunia. ''Menurut pihak UNESCO, kenapa situs Muara Takus belum masuk daftar situs warisan dunia, karena belum ada disampaikan dari pihak pemerintah kita,'' tutur Latif. Disarankan Latif, pemerintah seharusnya memperjuangkan hal itu karena situs Muara Takus menunjukkan harga diri orang Melayu. Tak hanya Melayu Riau saja, tapi juga Melayu di seluruh dunia. Sebab Kerajaan Melaka yang merupakan cikal-bakal Kerajaan Melayu di seluruh dunia memiliki raja yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya yang kemudian masuk Islam.

''Bahkan ada suatu hadist Rasulullah SAW yang menyatakan ada negeri di penjuru angin pada zaman Rasulullah yang nantinya seluruh rakyatnya mengikut ajaran Islam. Negeri penjuru angin saat itu adalah Kerajaan Sriwijaya,'' jelas Latif. Namun sampai saat ini, situs Candi Muara Takus masih kurang dikelola dan kurang terpelihara dengan baik. Bahkan sebagai objek wisata karena keterbatasan anggaran di daerah. Padahal Candi Muara Takus jauh lebih tua dari Candi Borobudur di tanah Jawa.

Pemugaran Candi Muara Takus sendiri hanya dilakukan sekali di zaman pemerintahan Soeharto pada tahun 1975-1978. Setelah itu tidak pernah lagi dilakukan pemugaran. ''Paling-paling hanya ganti batu sedikit saja pada saat ini,'' papar Latif. Menurut Latif, candi tua paling banyak dipugar dibanding candi lainnya. Sedangkan candi bungsu masih asli dan belum pernah dipugar.
Jika digali, sebenarnya masih ada 8 tingkat candi yang berada di bawah tanah bersama harta karun berupa keris, senjata dan tembikar. Seluruh kompleks candi dan area istana Sriwijaya sebenarnya seluas 9 hektar dan candi sendiri terdiri dari 20 stupa. Satu-satunya buku para ahli yang ditulis pada abad 19 yang mengulas tentang ini adalah buku karya Ir Delfard dan J W Yzerman dari Belanda.

Penggalian candi, menurut Latif tidak bisa dilakukan sembarangan karena khawatir terjadi keruntuhan candi. ''Jika situs ini sudah dijaga UNESCO, bisa dilakukan penggalian oleh para ahli. Tapi itu tadi masalahnya. Bahkan di lahan kebun kelapa sawit milik warga yang tak jauh dari candi ada ditemukan penemuan batu candi baru yang menandakan adanya bagian candi di bawah tanah,'' sebut Latif.


Datang Dari India

Kerajaan Sriwijaya yang pada abad 12 berdiri megah di sekitar kawasan Candi Muara Takus. Ratu yang memimpin Sriwijaya bernama Putri Retno Bulan atau disebut juga Putri Indo Dunia. Putri ini berasal dari putri kerajaan di India yang menurut kepercayaan masyarakat setempat, kedatangan putri India ini ke wilayah yang sekarang disebut Desa Muara Takus mulanya berawal dari adanya putri raja dari India yang dilarikan burung elang atau garuda. Namun ada pula versi lain yang mengatakan, putri tersebut diculik dari sebuah kapal yang berlabuh di pelabuhan di sekitar candi yang pada zaman itu masih berupa lautan. Berabad-abad kemudian, lautan mendangkal dan menjadi daratan, surut kemudian menjadi Sungai Kampar saat ini. Putri yang diculik itu bersedia tinggal dengan syarat didirikan candi. Selanjutnya didirikan istana di dekat candi yang akhirnya menjadi Kerajaan Sriwijaya. Putri tersebut kemudian menjadi ratu dan memerintah Sriwijaya. Selain itu, sang ratu juga mengajarkan ajaran Hindu ke masyarakat setempat.

Disebutkan Latif, bisa jadi asal usul garis keturunan masyarakat Kampar berasal dari ibu dikarenakan pemimpin Kerajaan Sriwijaya adalah seorang ratu. ''Karena rajanya seorang perempuan, mungkin hal tersebut adalah cikal-bakal garis keturunan masyarakat Kampar dari ibu,'' ungkap Latif. Itu terjadi sebelum Islam masuk ke wilayah Kampar. Setelah masuknya Islam, seluruh masyarakat Kampar memeluk agama Islam.

Saat ini, ungkap Latif, candi diurus dan diawasi oleh keturunan raja-raja Sriwijaya yang saat ini masih hidup. Yakni Datuk Raja Dua Balai yang tinggal tak jauh dari kompleks candi. ''Keturunan Sriwijaya yang masih ada adalah Datuk Raja Dua Balai. Dia yang 'memegang kunci' Candi Muara Takus ini,'' papar Latif.


Gajah Sembah Candi

Ada peristiwa unik yang terjadi pada malam hari di kawasan Candi Muara Takus. Yakni serombongan gajah yang dipimpin gajah putih menyembah candi pada setiap malam bulan purnama. Gajah yang melaksanakan sembah sujud ke candi ini berjumlah 20-30 gajah. Saat sekawanan gajah ini melakukan sembah, ada penampakan seorang ratu yang dipercaya masyarakat sekitar sebagai arwah Putri Retno Bulan di puncak Candi Tua, salah satu dari 3 candi yang ada di kompleks Candi Muara Takus.

Setelah melakukan sujud, sekawanan gajah ini kemudian berkeliling candi beberapa kali seperti melakukan sebuah ritual. Tidak ada yang tahu maksud ritual yang dilakukan gajah-gajah tersebut. ''Masyarakat tidak ada yang tahu maksud ritual gajah menyembah candi . Tapi gajah sembah candi ini menjadi tontonan masyarakat sekitar setiap bulan purnama,'' sebut Latif.

Namun, sekarang tidak ada lagi ritual sembah candi oleh kawanan gajah. Terakhir, ritual gajah sembah candi terlihat sebelum pembangunan waduk PLTA Koto Panjang dibangun beberapa tahun lalu. ''Sekarang tidak ada lagi gajah, sudah ditembaki karena dibangun kebun sawit masyarakat,'' urai Latif.
Selain peristiwa unik berupa gajah-gajah sembah candi, fakta unik lainnya, lokasi Candi Muara Takus berada pada titik 0 derajat. Berada pada garis Khatulistiwa.  Itu diketahui dari penelitian para ahli dari negara Eropa seperti Belanda yang mengadakan penelitian di Kampar. Entah kebetulan atau ada makna lain dari keberadaan lokasi candi di titik 0 derajat, makna lain tersebut yang belum terbaca sampai sekarang.


Perlu Digali Lebih Dalam

Menilik dari kesalahan penyusunan sejarah, salah satunya asumsi yang menyebutkan pusat Kerajaan Sriwijaya di Sumsel dan ternyata di Desa Muara Takus, perlu kajian lebih dalam lagi terhadap situs peninggalan sejarah yang ada. Salah satunya situs Candi Muara Takus yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Untuk itu, berbagai peninggalan sejarah yang terdapat di Riau, khususnya di Kabupaten Kampar harus di-explore atau digali lebih dalam lagi. Setidaknya itu dikatakan Latif.

Kemudian, berdasarkan kajian geologi, sebagian wilayah Kampar yang berabad-abad silam merupakan sebuah laut berupa selat cukup mengejutkan berbagai pihak. Berabad-abad lalu, laut mengalami pendangkalan dan menjadi daratan yang sekarang menjadi wilayah Kampar.

Kemudian tinggal Sungai Kampar. ''Dulu sewaktu masih berupa laut, pelabuhan besarnya berada di daerah Kuok sekarang. Lewat laut itulah pembangun Kerajaan Sriwijaya dan Candi Muara Takus yang diyakini dari India datang ke wilayah Kampar,'' ungkap Latif. Selain itu, kawasan Kampar yang dulu-dulu sekali merupakan lautan diperkuat adanya kompas bambu dari Dinasti Ming yang ditemukan di Kampar. Kompas bambu adalah sebuah bukti pelayaran laut internasional zaman dahulu.

''Hal itu tidak akan diketahui jika tidak ada kajian mendalam dari segala peninggalan sejarah yang ada,'' urai Latif. Lebih lanjut ditambahkan Latif, tidak banyak orang yang berkeinginan untuk menggali sejarah. Padahal itu merupakan sesuatu yang berharga. Selain untuk mengetahui asal-usul, berbagai pengetahuan baru bisa didapat.

Mengenai explore kebudayaan yang dilakukannya, diakui Latif hanya atas nama pribadi. Penelitian dan kajian yang dilakukannya tidak melalui lembaga penelitian apapun. Bersama teman yang tertarik ikut dengannya, Latif melakukan kajian dan penelitian dengan dana pribadi.  Berbagai temuan hasil penelitiannya dituangkan dalam bentuk tulisan-tulisan di makalah. Selain itu, pemikirannya dalam bidang kebudayaan Melayu sering dipaparkan pada seminar-seminar kebudayaan di mana ia menjadi pembicara.

''Hasil telaah, kajian dan penelitian yang saya temukan baru saya ekspos sebatas di seminar saja. Seperti seminar di UGM, seminar Dunia Melayu Dunia Islam yang dilaksanakan di Pekanbaru 2007 lalu dan paling banyak saat seminar-seminar sejarah Kampar di Bangkinang saat even Pekan Budaya Kampar,'' papar Latif. Pendapat Latif dikuatkan Bupati Kampar Drs Burhanuddin Husin MM. Di Kampar, ungkap Burhanuddin, masih banyak yang perlu di-explore dari berbagai peninggalan sejarah yang ada.

''Dari pengkajian lebih dalam terhadap peninggalan sejarah dapat diketahui asal usul kita sebagai orang Melayu,'' ucap Burhanuddin.  Salah satu peninggalan sejarah yang dapat mengungkap banyak makna adalah situs tertua, situs Candi Muara Takus. Tidak hanya peneliti di tingkat nasional, peneliti asing pun banyak yang tertarik mengkaji situs Muara Takus karena merupakan kerajaan spektakuler, kerajaan tertua di Asia Tenggara. ''Banyak hal yang dapat diungkap dari peninggalan sejarah yang ada di Kabupaten Kampar. Terutama situs Muara Takus ini,'' tutur Burhanuddin.

Oleh karena itu, Burhanuddin mempersilakan pihak manapun untuk meneliti atau mengkaji peninggalan sejarah yang ada di Kampar. Termasuk bagi insan pers yang ingin mengekspos peninggalan sejarah dan menyajikannya ke hadapan publik.

 

(Hasil Wawancara dgn Budayawan Kampar Bapak Abdul Latif)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar